Showing posts with label indon suka makan kutu. Show all posts
Showing posts with label indon suka makan kutu. Show all posts

16 February 2008

indon bangga dengan TKI (bangsa kuli)

KOMPAS Sabtu, 09 Juni 2007
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0706/09/Fokus/3588000.htm

"Pahlawan Devisa"

Kalau boleh memilih, tenaga kerja Indonesia tentu lebih senang mencari nafkah di negeri sendiri dengan gaji yang layak dan suasana kerja yang menyenangkan. Namun, tuntutan ekonomi yang makin mendesak serta sulitnya mendapat pekerjaan di dalam negeri memaksa mereka mencari nafkah ke negeri orang dengan meninggalkan keluarga dan orang-orang yang dikasihi.

Nasib mereka tak selalu mujur di negeri orang. Sebagian meraih sukses, tetapi tak sedikit yang harus menanggung siksa dan derita. Bahkan, tak terhitung yang harus meregang nyawa di negeri seberang.

Sesuatu yang pasti, di dalam negeri mereka menjadi obyek pemerasan dengan beragam alasan. Julukan ”Pahlawan Devisa” hanya sekadar penghibur untuk perjuangan yang mereka lakukan. (THY)

Pahlawan Devisa yang Sering Teraniaya
http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A678_0_3_0_M

Kalau guru sering disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, sekalipun gajinya kecil, TKW dan TKI jarang dipandang sebagai manusia terhormat, jika bukan malah dicibirkan. Lihatlah mereka antre di bandara dalam jumlah ratusan yang mau berangkat ke tanah rantau demi sesuap nasi.

Laki-laki dan perempuan sama saja, antre dengan sopan menanti giliran untuk masuk ke ruang tunggu sebelum terbang meninggalkan Tanah Air yang mereka cintai. Di antara mereka ada yang harus meninggalkan anak dan suami, semata-mata karena negeri ini tidak mampu membukakan lapangan kerja buat mereka. Inilah sebuah negeri bak pepatah mengatakan: “Itik berenang dalam air, mati kehausan; ayam bertelur di atas padi, mata kelaparan.”

Kita bisa membayangkan betapa berat perasaan mereka berpisah, tetapi itulah garis retak tangan yang harus dijalaninya. Bangsa ini masih terseok dalam menghidupi rakyatnya sendiri karena perbuatan salah urus dan korupsi telah demikian menggurita dalam tempo yang panjang. Di depan beberapa forum saya sering mengatakan: “Yang lumpuh adalah akal sehat; yang lumpuh adalah hati nurani.” Akal sehat dan hati nurani yang tidak berfungsi inilah sebenarnya yang menjadi pangkal utama mengapa sebagian kita harus mengais rezeki ke bumi lain dengan segala risiko yang harus ditanggung.

Bukan tidak baik mencari penghidupan di negara lain. Tetapi, kalau kita berbicara tentang TKW dan TKI, di situ terlihat sebuah keterpaksaan. Di antara mereka banyak yang beruntung, dapat membangun kehidupan keluarga yang lebih cerah di kampungnya masing-masing setelah pulang, sementara sebagian TKW menjadi korban penindasan dan perkosaan.

Pemerintah kita belum maksimal melindungi mereka yang bernasib malang itu. Itu belum lagi kelakuan sebagian para cukong, domestik atau asing, yang bersikap kasar dan seenaknya saja memperlakukan para pekerja ini. Tidak jarang pula terjadi dalam perjalanan pulang dari rantau, masih ada saja manusia biadab yang merampok harta mereka di bandara atau dalam perjalanan ke desa. Panorama buram ini masih akan berkelanjutan selama para TKW dan TKI ini tidak mendapat perlindungan dan penghormatan wajar sebagai manusia penuh oleh aparat hukum kita.

Mengapa tulisan ini bernada marah ketika membicarakan TKW dan TKI ini? Karena saya memandang mereka sebagai pahlawan devisa yang sangat berjasa, tetapi sering telantar. Mereka turut membantu negara yang masih oleng ini dalam menghadapi banyak masalah keuangan. Data di bawah akan menjelaskan apa yang saya maksud tentang betapa mulianya para pekerja ini bagi kepentingan bangsa.

Harian Republika, 22 Februari 2006, halaman 23, memuat keterangan Wakil Menteri SDM Malaysia, Datuk Abdul Rahman Bakar, tentang triliunan devisa yang masuk ke Indonesia setiap tahun dari para TKW-TKI ini. Ini baru dari negeri jiran. Bagaimana pula dari Arab, Korea, Hong Kong, Eropa, Amerika, dan dari negara lain. Menurut Bakar, pada tahun 2005 saja para pekerja asing telah mentransfer 5 miliar ringgit ke negeri asalnya. Dari sekitar 3 juta pekerja legal atau sebaliknya, 80 persen berasal dari Indonesia.

Jadi, jika dihitung devisa yang masuk tahun lalu ke negeri kita adalah sekitar 80 persen, dikalikan 5 miliar ringgit (sekitar Rp 11,5 triliun), sama dengan Rp 7,6 triliun. Coba bayangkan betapa besarnya sumbangan mereka untuk membantu negara ini dengan cara mereka yang penuh tantangan itu. Berapa triliun pula yang ditransfer oleh TKW-TKI yang bekerja di negara-negara lain, tentu angkanya akan sangat besar.

Tetapi, siapa di antara kita yang memuliakan mereka? Tidak banyak. Dan mereka barangkali juga tidak ingin dimuliakan. Sekiranya mereka dapat perlindungan sebelum berangkat, di tempat kerja, dan setelah pulang ke Tanah Air, itu sudah lebih dari cukup. Sebagai bagian dari rakyat kecil mereka tidak punya angan-angan yang terlalu jauh. Selamat pergi-pulang, sudah merupakan kebahagiaan bagi mereka. Mereka adalah pahlawan devisa yang sebenarnya.

Khusus untuk Malaysia, ada sekitar 2,4 juta TKW-TKI kita yang mencari rezeki di sana. Mereka dikenal sebagai pekerja yang ulet, kompetitif, sekalipun dibayar murah, seperti diakui juga oleh Bakar. Banyak yang berhasil, di samping yang kandas. Sebagai contoh kecil, ada pemilik dua bus mini di Sumpur Kudus yang disopirinya sendiri ke berbagai kota di Sumatra Barat, adalah sebagai hasil dari jerih payahnya selama bekerja sebagai TKI di Malaysia. Tetapi, yang harus terjun ke laut dan berenang ke pantai karena takut ditangkap polisi, juga tidak kurang jumlahnya. Cerita ini saya dengar dari mereka yang mengalami. Hidup memang penuh warna.

Kita tidak boleh memandang enteng terhadap sesama. Mungkin para pekerja ini akan lebih dulu masuk surga tinimbang mereka atau kita yang tidak jelas misi hidupnya.
Sumber: Republika Online, 7 Maret 2006